Bung Hatta, Negarawan Uncorruptable (1): Kisah Menabung Utk “Sepatu Bally”, Tapi….
Salah
satu kisah mengugah dari Bung Hatta yang dikenang masyakarat adalah
kisah tentang sepatu Bally. Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek
sepatu bermutu tinggi yang berharga mahal. Bung Hatta, ketika masih
menjabat sebagai wakil presiden, berniat membelinya. Untuk itulah, maka
dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya.
Setelah
itu, dia pun berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman
tersebut. Namun, apa yang terjadi? Ternyata uang tabungan tidak pernah
mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Ini tak lain karena uangnya selalu
terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang
yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Alhasil, keinginan Bung
Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga
akhir hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat,
guntingan iklan sepatu Ball tersebut masih tersimpan dengan baik.
Andai
saja Bung Hatta mau memanfaatkan posisinya saat itu, sebenarnya
sangatlah mudah baginya untuk memperoleh sepatu Bally, misalnya dengan
meminta tolong para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalannya.
Barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa
saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru
setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan
potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat.
Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian,
tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.
Seorang mantan
wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang
yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah
menjajahnya—hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata
tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek
terkenal. Meski memiliki jasa besar bagi kemerdekaan negeri ini, Bung
Hatta sama sekali tidak ingin meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri
dari orang lain atau negara.
Menurut Jacob Utama,
Pemimpin Umum Harian Kompas, segala yang dilakukan Bung Hatta sudah
mencerminkan bahwa dia tidak hanya jujur, namun juga uncorruptable,
tidak terkorupsikan. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk
menodainya dengan melakukan tindak korupsi. Mungkin banyak masyarakat
berkomentar, “Iya, lha wong sepatu Bally harganya, kan, selangit.”
Namun
lagi-lagi itulah, ternyata bukan hanya sepasang sepatu itu yang tidak
mampu dibeli Hatta. Barang lain yang juga tak mampu dibelinya adalah
mesin jahit yang juga sudah lama didambakan sang istri. Wah, mengapa
bisa begitu? Ya, tak lain karena setelah mengundurkan diri dari jabatan
wakil presiden, 1 Desember 1956, uang pensiun yang diterimanya sangat
kecil. Bahkan saking kecilnya, sampai-sampai hampir sama dengan Dali,
sopirnya yang digaji pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, keuangan
keluarga Bung Hatta memang sangat kritis.
Sampai-sampai,
pernah suatu saat Bung Hatta kaget melihat tagihan listrik, gas, air,
dan telepon yang harus dibayarnya, karena mencekik leher. Menghadapi
keadaan itu, Bung Hatta tidak putus asa. Dia semakin rajin menulis untuk
menambah penghasilannya. Baginya, biarpun hasilnya sedikit, yang
penting diperoleh dengan cara yang halal. Itu sebabnya, mengapa Bung
Hatta mengembalikan sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat ke
Swedia. Itu dilakukan, karena sepulang dari Swedia Bung Hatta
mendapati bahwa uang tersebut masih bersisa, dan dia merasa itubukan
haknya.
Sungguh mengagumkan. Apa yang dilakukan Bung
Hatta adalah karena dia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya
sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara. Dalam konteks itu pula,
maka Bung Hatta pun tidak berusaha bekerja di berbagai perusahaan meski
sebenarnya sangat memungkinkan. Dalam pandangannya, jika dia bekerja
pada perusahaan, maka citra seorang mantan wakil presiden akan runtuh.
Juga, jika dia menjadi seorang konsultan, maka sebenarnya dirinya
sedang terjebak ke dalam bias persaingan usaha yang sarat dengan
kepentingan.
Rachmawati Soekarnoputri berkata: “Jujur di
sini, tidak hanya terbatas pada tidak melakukan praktik KKN selama
berkuasa atau menjabat. Namun, lebih dari itu, Bung Hatta jujur
terhadap hati nuraninya,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar